Jombang adalah kabupaten yang terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya 1.159,50 km², dan jumlah penduduknya 1.165.720 jiwa, dalam hitungan statistik tahun 2005. Pusat Kota Jombang terletak di tengah-tengah wilayah kabupaten, memiliki ketinggian 44 meter di atas permukaan laut, dan berjarak 79 km (1,5 jam perjalanan) dari barat daya Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Jombang memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di persimpangan jalur lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Madiun-Yogyakarta), jalur Surabaya-Tulungagung, serta jalur Malang-Tuban.

Jombang juga dikenal dengan sebutan "kota santri", karena banyaknya sekolah pendidikan Islam (pondok pesantren) di wilayah tersebut. Bahkan ada pameo yang mengatakan Jombang adalah pusat pondok pesantren di tanah Jawa karena hampir seluruh pendiri pesantren di Jawa pasti pernah berguru di Jombang. Di antara pondok pesantren yang terkenal adalah Tebuireng, Denanyar, Tambak Beras, dan Rejoso.

Banyak tokoh terkenal Indonesia yang dilahirkan di Jombang, di antaranya adalah mantan Presiden Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, pahlawan nasional K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Wahid Hasyim, tokoh intelektual Islam Nurcholis Madjid (Cak Nur), serta budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun).

Konon, kata "Jombang" merupakan akronim dari kata berbahasa Jawa "ijo" dan "abang". Ijo mewakili kaum santri (agamis), dan abang mewakili kaum abangan (nasionalis atau kejawen). Kedua kelompok tersebut hidup berdampingan dan harmonis di Jombang. Bahkan kedua elemen ini digambarkan dalam warna dasar lambang daerah Kabupaten Jombang. Sementara lambang Kabupaten Jombang menyimpan makna filosofis tersendiri. Berbentuk perisai, di dalamnya berisi gambar: padi dan kapas, gerbang Majapahit dan benteng, Balai Agung (Pendopo Kabupaten Jombang), menara dan bintang sudut lima diatasnya berdiri pada beton lima tingkat, gunung, dua sungai satu panjang satu pendek.

Ada pun arti gambar lambang Kabupaten Jombang terdiri dari beberapa hal. Gambar Perisai: Mengandung arti alat untuk melindungi diri dari bahaya. Gambar Padi dan Kapas: berarti kemakmuran, sebagai harapan masyarakat jombang, khususnya bangsa Indonesia umumnya. Gambar Gerbang Majapahit: berarti jaman dahulunya Jombang wilayah kerajaan Majapahit wewengkon krajan sebelah barat. Gambar Benteng: berarti jaman dulunya Jombang merupakan benteng Mojopahit sebelah barat, hal ini menyebabkan masyarakat bermental kuat, dinamis dan kritis. Gambar Balai Agung: berarti para pejabat daerah dalam membimbing masyarakat bersifat mengayomi seperti tugas balai yang tetap berdiri tegak dan kukuh, guna memelihara persatuan/kesatuan rakyat di dalam daerahnya. Gambar Tangga Beton Lima Tingkat: berarti terus tetap berpegang teguh pada landasan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, demi persatuan kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Warna Putih berarti dalam menjalankan tugas tetap berpegang pada kesucian, sepi ing pamrih rame ing gawe. Gambar Bintang Sudut Lima dan Menara: berarti Ketuhanan Yang Maha Esa. Jombang terkenal di segala penjuru tanah air sebagai tempat yang banyak Pondok Pesantren. Pondok-pondok tersebut adalah Tebuireng. Rejoso, Denanyar, Tambak Beras dan sebagainya. Gambar Gunung: berarti Jombang selain terdiri dari daerah rendah, sebagian terdiri dari tanah pegunungan. Warna Hijau berarti banyak membawa kemakmuran. Gambar Dua sungai: berarti Kesuburan Jombang dialiri oleh 2 (dua) sungai yaitu Sungai Brantas dan Sungai Konto yang banyak membawa kemakmuran bagi daerah Jombang.

Sedang Makna filosofis warna dari simbol Kabupaten Jombang terdiri dari tercermin dalam beberapa jenis warna. Warna Hijau dan Merah tua: warna dari perisai berarti perpaduan 2 warna Jo dan Bang (Ijo dan Abang) sama dengan Jombang. Hijau: Kesuburan, ketenangan, kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Merah: Keberanian, dinamis dan kritis. Biru Langit Cerah, juga berarti kecerahan wajah rakyat yang optimis. Coklat: Warna Tanah Asli, segala sesuatu menampakkan keasliannya. Kuning: Warna keagungan dan kejayaan. Putih: Kesucian.

Penemuan fosil Homo Mojokertensis di lembah Sungai Brantas menunjukkan bahwa seputaran wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang diduga telah dihuni sejak ribuan tahun yang lalu. Pada tahun 929 Masehi menurut berita prasasti Turyyan yang ditemukan secara in situ (masih berada di tempat pertama kali ditemukan), Mpu Sindok peletak Dinasti Isyana atau Isyana Wangsa di Jawa Timur telah memindahkan ibukota kerajaannya ke Tamwlang. Letak Tamelang ini diduga di daerah Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang. Kemudian pada tahun 937 Masehi menurut berita prasasti Anjuk Ladang, Nganjuk, ibukota tersebut dipindah oleh Raja Dharmawangsa Teguh ke Watugaluh. Watugaluh ini diduga sekarang adalah Desa Watugaluh di wilayah Kecamatan Diwek, Jombang.

Tahun 1006 Masehi, sekutu Sriwijaya dari kerajaan Wora-wari (letak kerajaan ini mungkin sekitar Ponorogo) menghancurkan ibukota Kerajaan Mataram Hindu Medang dan menewaskan Raja Dharmawangsa Teguh. Airlangga, sang menantu putera Raja Udayana Bali yang ketika itu masih sangat muda, berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh. Bukti petilasan sejarah Airlangga ketika menghimpun kekuatan kini dapat dijumpai di Sendang Made, Kecamatan Kudu. Tahun 1019, Airlangga mendirikan kerajaan baru yang wilayahnya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali.

Pada tahun 1042 Masehi, Airlangga turun tahta dan membagi dua kerajaannya. Sebelah barat disebut Kadiri (Kediri) dengan ibukotanya yang baru yakni Daha. Sedangkan di sebelah timur disebut Janggala dengan ibukotanya yang lama yakni Kahuripan. Bila melihat peta perkembangan kekuasan Dinasti Airlangga maka tidak mengherankan bila ketika itu Jombang sudah menjadi lalu lintas yang kerap dilalui. Pada era 1293-1500 Masehi ditandai dengan berkuasanya Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir di Semenanjung Malaya. Kerajaan Majapahit tercatat sebagai salah satu Negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kemudian data etnografi yang menyisir seberapa akurat cerita babad, mitos, dan legenda menjadi rujukan penting bagi Hari Kelahiran kota ini.

Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini disebut sebagai Kabupaten Jombang merupakan gerbang Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang, sedang gapura selatan adalah Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. Hingga sekarang banyak dijumpai nama-nama desa atau kecamatan yang diawali dengan prefiks "mojo", di antaranya Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah, Mojongapit, dan sebagainya. Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi Arimbi di Kecamatan Bareng.

Sehubungan dengan merosotnya Kerajaan Majapahit, Agama Islam mulai berkembang di kawasan ini, di mana penyebarannya dari pesisir pantai utara Jawa Timur. Jombang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Seiring dengan surutnya pengaruh Mataram, kolonialisasi Belanda menjadikan Jombang sebagai bagian dari wilayah VOC pada akhir abad ke-17, yang kemudian sebagai bagian dari Hindia Belanda. Etnis Tionghoa juga berkembang; Klenteng Hong San Kiong di Gudo (konon didirikan pada tahun 1700) yang masih berfungsi hingga kini. Sampai sekarang masih ditemukan di sejumlah kawasan di Jombang yang mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa dan Arab.

Ini menjelaskan posisi Jombang sebagai daerah kota raja yang diperhitungkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Sebaliknya, karena menjadi pusat perkotaan maka ada konsekuensi yang muncul dalam dinamika kehidupan masyarakat Jombang. Sejak jaman dahulu Jombang menjadi wilayah yang terbuka dalam menerima semua unsur perdagangan dan kebudayaan yang masuk dari luar. Baik itu melalui kehidupan agrarisnya maupun melalui peran-peran perguruan- perguruan dan padepokan-padepokan. Dan bukan unsur-unsur dari dalam Pulau Jawa saja tetapi juga meliputi aspek-aspek dari luar Jawa. Mengingat kekuasaan Majapahit saat itu terbentang dari Sumatra, Semenjanjung Malaya, Kalimantan, Bali bahkan sampai ke Phlipina. Inilah yang menjadi dasar historis kenapa kehidupan Jombang sangat majemuk.⁷

Memasuki abad ke-14, pengaruh Majapahit berangsur-angsur melemah karena kerap terjadi perang saudara. Sementara pedagang-pedagang muslim dan para penyebar Agama Islam mulai memasuki nusantara. Memang pada kitab Negarakertagama tidak menyebutkan tentang keberadaan Islam. Tetapi nampaknya pada waktu itu sudah ada keluarga Kerajaan Majapahit yang beragama Islam. Dalam tempo singkat, Agama Islam diserap oleh masyarakat. Karena syiar Agama Islam dilakukan dengan cara yang sangat mentolerir kebudayaan awal. Bahkan termasuk kebudayaan di luar Jawa. Di bagian barat nusantara muncullah sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka. Yang kemudian disusul kesultanan-kesultanan Islam lainnya seperti Demak, Pajang dan Mataram. Kesultanan-kesultanan ini berusaha mendapatkan legitimasi politik atas kekuasan mereka melalui hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Maka ketika kekuasaan Kerajaan Majapahit runtuh, Jombang menjadi bagian Kerajaan Mataram Islam. Pada abad ke-17, pengaruh Mataram melemah. Kolonialisasi Belanda menjadikan Jombang bagian dari VOC yang kemudian menjadi bagian dari Hindia Belanda.

Tahun 1811, didirikanlah Kabupaten Mojokerto, di mana meliputi pula wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang. Jombang merupakan salah satu residen di dalam Kabupaten Mojokerto. Bahkan Trowulan (di mana merupakan pusat Kerajaan. Majapahit), adalah masuk dalam kawedanan (onderdistrict afdeeling) Jombang.

Sekitar tahun 1900 penyebaran Agama Kristen yang dilakukan pendeta- pendeta dari Belanda dan daratan Eropa telah mendorong percepatan jumlah pengikut Agama Kristen, khususnya di wilayah Jawa Timur. Daerah Mojowarno, Jombang menduduki basis terbesar di wilayah karesidenan Surabaya dengan jumlah jemaat mencapai 4.528 jiwa, mengungguli wilayah Kediri dan Madiun 2.085 penganut, serta Swaru (Pasuruan) sekitar 1.956 umat Kristiani.₁₀ Ini sekaligus membuktikan betapa warga di wilayah Kabupaten Jombang sangat pluralis dan menjunjung tinggi toleransi dalam kebhinekaan.

Masa pergerakan nasional, wilayah Kabupaten Jombang memiliki peran penting dalam menentang kolonialisme. Beberapa putera Jombang merupakan tokoh perintis kemerdekaan Indonesia, seperti K.H. Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU dan pernah menjabat sebagai ketua Masyumi) dan K.H. Wachid Hasyim (salah satu anggota BPUPKI termuda, serta Menteri Agama RI pertama). Undang- undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur mengukuhkan Jombang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur.

Alfred Russel Wallace (1823-1913), naturalis asal Inggris yang memformulasikan Teori Evolusi dan terkenal akan Garis Wallace, pernah mengunjungi dan bermalam di Jombang ketika mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia.

Setidaknya ada tiga kawasan yang tercatat dalam berbagai literatur yaitu Wonosalam, Japanan, dan Mojoagung. Letak geografis tiga kawasan ini berada di sisi timur Kabupaten Jombang memanjang ke selatan dengan jarak jika ditarik garis lurus kurang lebih 15 km. Tiga titik kawasan ini juga tak jauh dari Trowulan, yang diyakini menjadi salah satu pusat kejayaan Kerajaan Majapahit.

Di dalam Java a Traveler's Anthology disebutkan bahwa Wallace mengunjungi kebun kopi di Wonosalam di kaki Gunung Arjuna dan mengumpulkan spesimen burung merak di Wonosalam. Di dalam catatan ini Wallace menulis "Wonosalam" dengan ejaan "Wonosalem" dan terletak di kaki Gunung Arjuna. Padahal, Wonosalam yang ada di Jombang ini berada di kaki Gunung Anjasmoro. Ada kemungkinan gunung yang saat ini dinamakan Gunung Anjasmoro, pada saat itu belum mempunyai nama atau kalaupun sudah mempunyai nama, tetapi kurang dikenal dan masih menjadi bagian dari Gunung Arjuna yang memang letaknya berada dalam satu gugusan.

Jadi mungkinkah ada nama Wonosalam lain di kaki Gunung Arjuna? Sejauh ini tampaknya bisa diduga bahwa tidak ada Wonosalam selain yang di Jombang. Apalagi dalam perjalanannya ke Wonosalam, seperti disebutkan dalam The Malay Archipelago, -merupakan salah satu buku perjalanan ilmiah terbaik pada abad ke- 19-, Wallace sempat singgah di Candi Arimbi yang letaknya di Dusun Ngrimbi, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, namun secara geografis lebih dekat dengan Wonosalam. Jadi ini bisa menjadi titik acuan Wonosalam manakah yang ditapaki Wallace pada tahun 1861 itu.

Dalam kisah perjalanannya, ketika menuju Wonosalam ia melihat hutan yang sangat indah dan melewati bangunan Candi Arimbi yang juga sangat menakjubkan yang dia anggap sebagai pusara seorang raja. Mungkin praduga Wallace tidak salah, karena

menurut berbagai kisah, Candi Arimbi dibangun sebagai tempat perabuan Tribhuwanatunggadewi yang merupakan penjelmaan dari Dewi Parwati.

Selain itu, dalam kisahnya yang lain di Wonosalam, Wallace selain mengumpulkan berbagai jenis spesimen ayam hutan dan berbagai burung, utamanya burung merak, juga mengunjungi kebun-kebun kopi. Dan sampai sekarang, kopi tetap menjadi salah satu komoditas perkebunan utama petani di Wonosalam, selain cengkeh dan kakao serta berbagai jenis durian utamanya durian bido.

Entah bagaimana keadaan kebun-kebun kopi di Wonosalam ketika itu. Kemungkinan kebun-kebun kopi dibangun bersamaan dengan kebijakan tanam paksa, yaitu pada masa Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch berkuasa pada pertengahan abad ke-18. Apalagi kawasan Mojowarno, kawasan barat daya dan berdekatan dengan Wonosalam, pada abad 18 merupakan pusat kebudayaan kolonial Belanda, yang tentu saja segala kebijakan kolonial akan "terpancar" ke sekitarnya. Jejak peradaban kolonial Belanda di Mojowarno hingga saat ini pun masih terlihat dengan peninggalan bangunan- bangunan rumah tua dan gereja- gereja, termasuk peninggalan Pabrik Gula Tjoekir di barat Mojowarno.

Hanya saja, sekitar 40 tahun semenjak kedatangan Wallace atau sekitar awal tahun 1900-an, perusahaan-perusahaan kolonial Belanda mulai menata dan membangun kembali perkebunan kopi di Wonosalam dengan sistem sewa lahan dengan "merayu" dan "memelihara" kalangan elite penguasa lokal. Perkebunan dicetak terutama di kawasan tinggi di lereng Gunung Anjasmoro, mulai dari Dusun Segunung (Desa Carangwulung) hingga berderet ke selatan sampai Dusun Sumberjahe dan Sumberarum (Desa Sambirejo). Bahkan, di Dusun Segunung sejak awal 1920-an sudah dibangun pabrik pengolah kopi. Bangunan ini bertahan hingga awal tahun 2000-an sebelum diruntuhkan oleh pemilik tanah saat ini.

Eksotisme Jombang selain yang terlukiskan dalam kunjungan Alfred Wallace di atas, berbagai macam obyek wisata di Jombang juga tak kalah menariknya jika dibandingkan dengan kabupaten lain. Seperti Goa Sigolo-golo, Sumber Boto, Kedung Cinet, Sumber Penganten, Goa Sriti, Sendang Made, Air Terjun Tretes, dan lain-lain.

Tanggal 20 Maret 1881, Jombang secara resmi memperoleh status kabupaten, dengan memisahkan diri dari Kabupaten Mojokerto. Akan tetapi Kabupaten Jombang ini baru pada tahun 1920 mempunyai seorang Bupati yaitu Raden Adipati Arya Soeroadiningrat sebagai Bupati Jombang pertama. Hingga sampai dengan periode 2009- 2013, Kabupaten Jombang diteruskan dan dijalankan dengan gemilang beserta segala persoalannya oleh Bupati Suyanto.